Panitia Kerja Ujian Nasional (UN) DPR menemukan sejumlah kelemahan
pelaksanaan evaluasi akhir siswa tersebut. Kelemahan tersebut di
antaranya terkait standar mutu yang belum merata antarsatuan pendidikan
sehingga tidak adil jika UN dilakukan dalam kondisi belum seragamnya
mutu pendidikan.
“Evaluasi akhir belajar bagi siswa SMP/Mts, SMA/MA, SMA Luar Biasa
dan SMK tidak dilaksanakan secara serentak dan diseragamkan antara satu
daerah dan daerah lain, karena masih ditemukan sejumlah kelemahan dalam
pelaksanaannya,” kata Ketua Panja UN Rully Chairul Azwar dalam Lokakarya
Ujian Nasional, di Jakarta.
Rully mengatakan, berdasarkan hasil analisa
yang dilakukan Panja UN, masih ditemukan sejumlah kelemahan seperti
standar mutu satuan pendidikan belum sama antara kota dan pedalaman,
standardisasi ruang kelas, sarana prasarana dan guru belum sama. Untuk
itu, tidak adil rasanya jika UN dilakukan secara seragam di tiap kota.
Kelemahan lain, lanjut Wakil Ketua Komisi X DPR RI ini, APBN untuk
pendidikan sebesar 20 persen senilai Rp 243 triliun belum mampu
mengatasi pembiayaan perbaikan mutu standar satuan pendidikan. Hal
tersebut dikarenakan postur anggaran pendidikan tidak dikelola dengan
tepat.
“Kami akui, Komisi X belum mampu memperbaiki postur anggaran pendidikan itu,” ujarnya.
Rully menambahkan, penyelenggaraan UN yang dilakukan secara serentak juga berpengaruh pada teknis penyelenggaraan seperti pencetakan dan distribusi soal. Adanya kebocoran dan kecurangan sangat berpengaruh pada kredibilitas standar UN dan mutu pendidikan nasional.
Rully menambahkan, penyelenggaraan UN yang dilakukan secara serentak juga berpengaruh pada teknis penyelenggaraan seperti pencetakan dan distribusi soal. Adanya kebocoran dan kecurangan sangat berpengaruh pada kredibilitas standar UN dan mutu pendidikan nasional.
Sementara itu, bentuk soal pilihan ganda tidak mendorong anak untuk
berkonsentrasi penuh untuk belajar, kecuali hanya mengandalkan bimbingan
belajar. Soal pilihan ganda pun menyebabkan anak tidak menguasai
pelajaran pada semester akhir dan hanya menggiring siswa untuk menghapal
dan menghitung.
“Kenyataannya banyak siswa yang menderita gangguan psikologis dan merasa banyak ketidak adilan pada UN,” katanya.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pendidikan Fasli
Jalal menegaskan, kesepakatan UN sudah jelas. UN hanya perlu
dikombinasikan dengan yang lain, sehingga perlu saran-saran dari Badan
Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), Komisi X DPR RI , praktisi
pendidikan, Komite Sekolah, dan lain-lain.
“UN jelas harus ada, untuk itu perlu disampaikan kepada publik agar
tidak menjadi keraguan dari guru, siswa, dan orang tua. UN masih menjadi
metode evaluasi pembelajaran bagi anak didik,” ucap Fasli.
source artikel : KOMPAS.com